Langsung ke konten utama

Postingan

Jeda

Ada beberapa orang yang melakukan perjalanan untuk merasa lebih dekat dengan tujuan pulang. Aku suka duduk diam, menikmati perjalanan pulang ke rumah—meski hanya sebentar, meski tak perlu tinggal lama. Kadang, jarak justru membuat segalanya terasa lebih hangat. Ada hal-hal yang terasa lebih berarti saat kita tak selalu berada di dekatnya. Seperti rumah, yang kehadirannya selalu terasa lebih dalam saat aku datang sebagai tamu. Seperti orang-orang yang kusayangi, yang rasanya lebih istimewa ketika aku merindu dari jauh. Jadi, aku biarkan perjalanan ini menjadi jeda kecil. Untuk pulang, untuk mengingat, lalu pergi lagi. Karena tak semua yang kita cintai harus selalu kita genggam erat. Terkadang, justru dari kejauhan, kita bisa melihat betapa berharganya mereka.
Postingan terbaru

Reo

Kamu belum tahu, Berapa kali aku jatuh hati pada tatapan dari manik hitam yang melabuhkan semua lelah seperti sorot matamu kala melihatku Atau setiap kamu membaca tulisan-tulisan itu yang entah mengapa terkalahkan oleh teduhnya suaramu Kamu belum tahu, Berapa kali langkahku terasa hangat setiap aku tahu bahwa kakimu berjalan disampingnya menawari rasa bahwa saat didekatmu, aku tau aku aman. Kamu belum tahu, Bagaimana aku jatuh hati dengan tingkah lucumu saat salah memainkan akor gitar itu, bodoh. tapi aku suka. selalu. Kamu juga belum tahu, saat aku melihatmu memilih bunga-bunga itu dari kejauhan, lagi-lagi aku jatuh. luruh, pada hati yang kau punya.   Kamu belum tahu, ada jatuh yang entah keberapa kali aku rasakan tiapkali ada disampingmu Namun kini kamu tahu, bahwa sesederhana itu   Aku jatuh padamu  

saya tahu kamu baca ini,

Sejak berhari dan berminggu yang lalu, saya tahu kamu lelah.  Kisah-kisah tentang kamu dan Kota itu tetap jadi tulisan yang aku tunggu-tunggu sejak lama.    Banyak keluh yang membalut kesah,  serta pilu yang temani lara.  Berkali, kembali lagi saya katakan bahwa saya tahu kamu sedang lelah.  Penat yang tak jua hilang dan tenggat waktu yang semakin mengejar pasti merengkuh kebebasan pada kuasamu.  Semester 7 ini memang sulit, saya tahu.  Namun kamu bisa sampai sejauh ini karena kamu memang kuat.  Sedikit lagi,  Sebentar lagi.  Kamu,  dan setiap bidikan potret yang saya ciptakan kini jadi hal paling sederhana yang mampu menciptakan lengkung sederhana dibibir ini.  Bertahan, ya? Draft November, 13. Di Jakarta.

Pemuda dan Kesia-siannya.

Kesia-siaan  Annisa Rizka  Petang kemarin, aku berjalan dipinggir kota.  Melihat raut-raut wajah budak instansi yang memar tanpa luka.  Berlari, aku berlari setiap hari menyaksikan puing-puing kehancuran pada negeri.  Dan sejuta wajah kemiskinan yang semakin menghiasi ibu pertiwi.  Gadis 5 tahun diujung sana menjejak langkahnya tanpa alas di tengah panas setiap pagi,  Mengais rezeki,  yang bukan untuk dirinya sendiri.  Ada lagi si bapak tua menyeret tubuhnya,  Kakinya teramputasi, namun tangannya tetap melangkah pasti.  Ia tahu benar, ia masih punya arti.  Atau ibu berkudung hitam,  Yang sejak pagi hingga malam  Tak jua henti-hentinya menyapu jalan,  Tapi bukan itu,  Bukan itu kemiskinan yang ku maksud, puan dan tuan.  Namun disana!  Di atas bangku-bangku kedai kopi  Yang di duduki kaum muda tanpa hati,  Tanpa prestasi, tanpa abdi kepada negeri,  Tanpa sedikit empati, tanpa tau artin...

Jangan Sakit.

Ibu, ayah. Kalau saja kakak bisa kasih Ibu dan Ayah seribu usia, rasaya tidak akan ada beban untuk memberikannya. Kakak akan benar-benar serendah hati itu memberikannya. Kalau saja kakak bisa menghapus lelah Ayah yang sejak dulu selalu membebani pundak Ayah, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak ada satupun lelah yang tertinggal, yah. Kalau saja kakak bisa menghapus kekecewaan Ibu yang seringkali tertanam dalam hati Ibu, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak akan pernah ada tangis dan pilu, Bu. Selama ini saya lelah, Bu, Yah. Bekerja, mencari arti diri. Berteman dengan banyak manusia-manusia dengan kepribadian yang berbeda agar kakak tahu harus jadi manusia yang seperti apa. Lelah, Bu, Yah. Tapi saya hanya ingin belajar mengenal dunia lebih baik lagi agar nanti bisa saya ceritakan ke adik-adik, Bu, Yah. Saya sungguh lelah, Bu, Yah. Tapi kakak hanya ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah, belajar menjadi pemurah seperti Ibu, terlebih belajar menjadi diri kakak sendiri...

tertatih

  ia tertatih setiap pagi melatih rintih, di atas bentala yang tua tanpa punya kuasa. doa-doanya mengangkasa, berharap negeri tak lagi dipenuhi angkara, namun apa daya, eksistensinya tak lebih dari niskala. suaranya hanya mengambang di udara.

— 'boleh saja, tuan'

— Ragaku bersenai pada sekumpulan hijau rerumputan ini, Melihat-lihat kembali sosok yang sedari lampau tak kunjung pergi.   Ingin kubinasakan saja rona merah di pipiku, Lupa aku bahwa merahnya yang merekah tak pandai menipu.   Menemui pemuda itu memang perkara yang sulit, Meski jujur saja, ‘pamit’ adalah yang jauh lebih pahit.   Pelan-pelan senyum nya merayu sukma, Tak kunjung kudapati lagi kemana perginya jiwa.   Mungkin sedang bebas berkelena di bawah rayu sang tuan, Tepat kala ia bertanya, ‘boleh ku temani kau duduk disini, puan?’