Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Pemuda dan Kesia-siannya.

Kesia-siaan  Annisa Rizka  Petang kemarin, aku berjalan dipinggir kota.  Melihat raut-raut wajah budak instansi yang memar tanpa luka.  Berlari, aku berlari setiap hari menyaksikan puing-puing kehancuran pada negeri.  Dan sejuta wajah kemiskinan yang semakin menghiasi ibu pertiwi.  Gadis 5 tahun diujung sana menjejak langkahnya tanpa alas di tengah panas setiap pagi,  Mengais rezeki,  yang bukan untuk dirinya sendiri.  Ada lagi si bapak tua menyeret tubuhnya,  Kakinya teramputasi, namun tangannya tetap melangkah pasti.  Ia tahu benar, ia masih punya arti.  Atau ibu berkudung hitam,  Yang sejak pagi hingga malam  Tak jua henti-hentinya menyapu jalan,  Tapi bukan itu,  Bukan itu kemiskinan yang ku maksud, puan dan tuan.  Namun disana!  Di atas bangku-bangku kedai kopi  Yang di duduki kaum muda tanpa hati,  Tanpa prestasi, tanpa abdi kepada negeri,  Tanpa sedikit empati, tanpa tau artin...

Jangan Sakit.

Ibu, ayah. Kalau saja kakak bisa kasih Ibu dan Ayah seribu usia, rasaya tidak akan ada beban untuk memberikannya. Kakak akan benar-benar serendah hati itu memberikannya. Kalau saja kakak bisa menghapus lelah Ayah yang sejak dulu selalu membebani pundak Ayah, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak ada satupun lelah yang tertinggal, yah. Kalau saja kakak bisa menghapus kekecewaan Ibu yang seringkali tertanam dalam hati Ibu, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak akan pernah ada tangis dan pilu, Bu. Selama ini saya lelah, Bu, Yah. Bekerja, mencari arti diri. Berteman dengan banyak manusia-manusia dengan kepribadian yang berbeda agar kakak tahu harus jadi manusia yang seperti apa. Lelah, Bu, Yah. Tapi saya hanya ingin belajar mengenal dunia lebih baik lagi agar nanti bisa saya ceritakan ke adik-adik, Bu, Yah. Saya sungguh lelah, Bu, Yah. Tapi kakak hanya ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah, belajar menjadi pemurah seperti Ibu, terlebih belajar menjadi diri kakak sendiri...

tertatih

  ia tertatih setiap pagi melatih rintih, di atas bentala yang tua tanpa punya kuasa. doa-doanya mengangkasa, berharap negeri tak lagi dipenuhi angkara, namun apa daya, eksistensinya tak lebih dari niskala. suaranya hanya mengambang di udara.

— 'boleh saja, tuan'

— Ragaku bersenai pada sekumpulan hijau rerumputan ini, Melihat-lihat kembali sosok yang sedari lampau tak kunjung pergi.   Ingin kubinasakan saja rona merah di pipiku, Lupa aku bahwa merahnya yang merekah tak pandai menipu.   Menemui pemuda itu memang perkara yang sulit, Meski jujur saja, ‘pamit’ adalah yang jauh lebih pahit.   Pelan-pelan senyum nya merayu sukma, Tak kunjung kudapati lagi kemana perginya jiwa.   Mungkin sedang bebas berkelena di bawah rayu sang tuan, Tepat kala ia bertanya, ‘boleh ku temani kau duduk disini, puan?’

angkara

— riuh suara  rengkuh sepi,  sembunyikan luka  yang abadi.  senyumnya setia  terpatri pada  indah rupa  layaknya kirana  matahari.    meski memar warnai luka,  jatuh luruh  entah keberapa kalinya  dipermainkan dunia,    lara..    kejamnya semesta,  merajam penuh angkara.