Langsung ke konten utama

Mungkin esok, lusa, atau hari ini



Rintik hujan membasahi tiap-tiap lantai tak beratap.
Perlahan lalu tak tertahan.
Membasahi setiap langkahku.
Langkah kaki ku yang sedari tadi menelusuri ruang demi ruang ini.

Mencari tempat yang tak beralamat.
Mencari jendela yang tak berkaca.
Mencari ruang tanpa pintu.

Mungkin memang benar, kata orang, bahwa dunia adalah tempat yang fana.
Yang tak akan pernah ada yang tahu kapan semua ini akan hilang.
Tiada.

Namun, dari segala ke fana-an dunia, masih ada kekuatan terbesar yang membuat semua jiwa lupa akan tragis nya kematian.
Cinta.

Aku berjalan tak menepi.
Meski rintik hujan membasahi tubuhku, hingga helai demi helai rambutku.

Jika benar hujan memiliki kekuatan ajaib untuk meresonansi kembali ingatan pada masa lalu, lantas siapa yang harus disalahkan atas perasaan yang tak berhasil dilupakan?
Padahal, siapapun tahu bahwa selalu ada pelangi selepas hujan.

Tak tentu kapan hadirnya.
Tak tentu bagaimana kelihatannya.
Yang pasti indah.

Untuk mereka yang tak suka mencari, bersabar menemukan keindahan warna-warni itu, sayang rasanya.
Padahal, aku percaya bahwa selalu ada pelangi disetiap hujan telah reda.
Pasti.

Hanya saja, mungkin memang ia yang tidak selalu ingin menampakan warnanya.
Ya, siapa yang tahu.

Sama hal nya dengan hidup.
Siapa yang tahu bila mungkin waktu akan habis tanpa aba-aba.
Tiba-tiba ia memakan segala kenyataan menjadi ketiadaan.
Siapa yang akan sangka bila ‘esok’ adalah jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan,
‘kapan kita akan mati?’
Ya, 
Mungkin esok, lusa, atau hari ini.

Awalnya aku pun tak akan pernah tahu kapan waktu itu akan datang.
Hingga hari dimana semua kenyataan itu diucapkan, meski rasanya seperti tergores telinga ini ketika mendengarkannya, aku percaya, semua hal yang kelam akan memiliki ujung yang indah.
Seperti hujan dan pelangi..


“Leukemia Limfositik Akut,”

Begitu yang aku dengar dibalik gorden tipis itu setelah sekian lama mencari ruangan ini.


Perbincangan antara Dokter dengan Papa terasa begitu sunyi. Tanpa sepatah kata terucap. Bahkan untuk sebuah kalimat basa-basi.
Mereka lebih sering terdiam.


“Putri anda mengidap penyakit Kanker Darah.”
  
Kau tahu apa hal pertama yang terjadi dengan diriku?

jiwaku,
fikiranku,
otakku,

aku marah.

aku kecewa.

Dan kenyataan pahit lainnya,
 
Aku takut.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeda

Ada beberapa orang yang melakukan perjalanan untuk merasa lebih dekat dengan tujuan pulang. Aku suka duduk diam, menikmati perjalanan pulang ke rumah—meski hanya sebentar, meski tak perlu tinggal lama. Kadang, jarak justru membuat segalanya terasa lebih hangat. Ada hal-hal yang terasa lebih berarti saat kita tak selalu berada di dekatnya. Seperti rumah, yang kehadirannya selalu terasa lebih dalam saat aku datang sebagai tamu. Seperti orang-orang yang kusayangi, yang rasanya lebih istimewa ketika aku merindu dari jauh. Jadi, aku biarkan perjalanan ini menjadi jeda kecil. Untuk pulang, untuk mengingat, lalu pergi lagi. Karena tak semua yang kita cintai harus selalu kita genggam erat. Terkadang, justru dari kejauhan, kita bisa melihat betapa berharganya mereka.

Reo

Kamu belum tahu, Berapa kali aku jatuh hati pada tatapan dari manik hitam yang melabuhkan semua lelah seperti sorot matamu kala melihatku Atau setiap kamu membaca tulisan-tulisan itu yang entah mengapa terkalahkan oleh teduhnya suaramu Kamu belum tahu, Berapa kali langkahku terasa hangat setiap aku tahu bahwa kakimu berjalan disampingnya menawari rasa bahwa saat didekatmu, aku tau aku aman. Kamu belum tahu, Bagaimana aku jatuh hati dengan tingkah lucumu saat salah memainkan akor gitar itu, bodoh. tapi aku suka. selalu. Kamu juga belum tahu, saat aku melihatmu memilih bunga-bunga itu dari kejauhan, lagi-lagi aku jatuh. luruh, pada hati yang kau punya.   Kamu belum tahu, ada jatuh yang entah keberapa kali aku rasakan tiapkali ada disampingmu Namun kini kamu tahu, bahwa sesederhana itu   Aku jatuh padamu  

Jangan Sakit.

Ibu, ayah. Kalau saja kakak bisa kasih Ibu dan Ayah seribu usia, rasaya tidak akan ada beban untuk memberikannya. Kakak akan benar-benar serendah hati itu memberikannya. Kalau saja kakak bisa menghapus lelah Ayah yang sejak dulu selalu membebani pundak Ayah, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak ada satupun lelah yang tertinggal, yah. Kalau saja kakak bisa menghapus kekecewaan Ibu yang seringkali tertanam dalam hati Ibu, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak akan pernah ada tangis dan pilu, Bu. Selama ini saya lelah, Bu, Yah. Bekerja, mencari arti diri. Berteman dengan banyak manusia-manusia dengan kepribadian yang berbeda agar kakak tahu harus jadi manusia yang seperti apa. Lelah, Bu, Yah. Tapi saya hanya ingin belajar mengenal dunia lebih baik lagi agar nanti bisa saya ceritakan ke adik-adik, Bu, Yah. Saya sungguh lelah, Bu, Yah. Tapi kakak hanya ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah, belajar menjadi pemurah seperti Ibu, terlebih belajar menjadi diri kakak sendiri...