Langsung ke konten utama

Perihal rindu, dan kehilangan


Aku berkumpul dengan keramaian dan kebisingan suara yang memeluk erat stasiun kereta ini.

Tempat terakhir kami bertemu.

Merelakan kepergiannya untuk sesaat, adalah tugas baru bagiku.

Menjadi waktu dimana harapan terbesarku, hanyalah disambut oleh kepulangan.

Berminggu dan berbulan kian lampau. 

Menjadikan waktu ini nyaris menggenapi satu warsa. 

Ia tak juga kembali.


Lumpuh aku berkawan rindu. 

kala sepucuk surat yang dikirim dari Jogja,

oleh seorang pengirim bernamakan ‘Langit’

bersarang di kotak surat rumahku.

 

Ajaibnya, asa yang dulu hampir mati terbunuh,

seketika terobati oleh senyum yang bersangkar di bibirku.

 

Hausnya sebuah rindu hilang diguyur gelinang air mata itu.

 

Wangimu masih sama, batinku saat membuka secarik kertas hasil tumpahan kopi favoritnya

lengkap dengan tulisan tangan nya.

 

Aku pulang.

Datanglah, jemput aku.

Aku ingin bertemu, menyelesaikan kerinduanmu.

 

Pukul 1 di stasiun tempat kita terakhir bertemu.’

 

Sebuah pesan singkat yang akhirnya menempatkanku di antara keramaian ini.

 

Oleh harapan yang dulu hampir luruh,

Pikirku ia pergi bersamanya merantau sejauh yang tak mampu aku lihat.

 

Sebuah ingatan ter-resonansi kembali dalam bayanganku,

 

Tepat ketika ia berdiri didepanku.

Membelakangi secercah cahaya mentari kala itu.

 

Diam,

 

Ia hanya diam menatapku begitu dalam.

Tiada senyuman menjadi pembedanya dengan pertemuan tempo lalu.

 

Penyesalan.

Aku melihat tatapan penyesalan dalam binar matanya.

 

Sama seperti perempuan lemah lainnya,

Hal pertama yang kulakukan adalah,

menangis.

 

Sedetik kemudian, adalah memeluknya.

 

Namun bukanlah kata ‘rindu’ yang

kudengar darinya.

 

Aku bertemu seseorang.’ Katanya.

‘aku sudah bersamanya.’

‘ini tidak mudah tapi kamu harus mengerti.’

 

Ada hening yang memaksa datang,

Lalu ia beralih membelakangiku.

 

Selamat tinggal lagi ya, aku tidak akan kembali lagi ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.

 

Semoga kamu bahagia.’

 

Kemudian ia pergi dan menaiki kereta yang bertujuan ke Jogja.

 

Tanpa menoleh,

atau memberi senyum terakhir,

 

untukku yang kini hanya terdiam dibungkam oleh ketakutanku sendiri;

Kehilangannya.

 

Detik itu juga, aku tersadar bahwa benar ia ingin menyelesaikan kerinduanku.

Bukan hanya menyudahinya.

 

Bayangkan,

Seberes mengobati rindu, kami bertemu.

Tak serupawan ekspektasi yang diangan-angan seindah pelangi,

Pertemuan ini, tak begitu.

Bukan untuk melepas jarak yang sedari dulu membatasi,

Namun bertemu dengan kenyataan yang menghantam habis raga dengan pengakuan bahwa,

 

Kau bukan lagi satu-satunya.

 

Kau dibawa terbang menjulang ke angkasa raya, 

Tak hampir sedetik kemudian,

kau didorong dihempaskannya bertubi-tubi hingga jatuh ke pangkal bumi.

 

Sakit.

Jatuh.

 

Patah hati sepatah-patahnya.

 

 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeda

Ada beberapa orang yang melakukan perjalanan untuk merasa lebih dekat dengan tujuan pulang. Aku suka duduk diam, menikmati perjalanan pulang ke rumah—meski hanya sebentar, meski tak perlu tinggal lama. Kadang, jarak justru membuat segalanya terasa lebih hangat. Ada hal-hal yang terasa lebih berarti saat kita tak selalu berada di dekatnya. Seperti rumah, yang kehadirannya selalu terasa lebih dalam saat aku datang sebagai tamu. Seperti orang-orang yang kusayangi, yang rasanya lebih istimewa ketika aku merindu dari jauh. Jadi, aku biarkan perjalanan ini menjadi jeda kecil. Untuk pulang, untuk mengingat, lalu pergi lagi. Karena tak semua yang kita cintai harus selalu kita genggam erat. Terkadang, justru dari kejauhan, kita bisa melihat betapa berharganya mereka.

Reo

Kamu belum tahu, Berapa kali aku jatuh hati pada tatapan dari manik hitam yang melabuhkan semua lelah seperti sorot matamu kala melihatku Atau setiap kamu membaca tulisan-tulisan itu yang entah mengapa terkalahkan oleh teduhnya suaramu Kamu belum tahu, Berapa kali langkahku terasa hangat setiap aku tahu bahwa kakimu berjalan disampingnya menawari rasa bahwa saat didekatmu, aku tau aku aman. Kamu belum tahu, Bagaimana aku jatuh hati dengan tingkah lucumu saat salah memainkan akor gitar itu, bodoh. tapi aku suka. selalu. Kamu juga belum tahu, saat aku melihatmu memilih bunga-bunga itu dari kejauhan, lagi-lagi aku jatuh. luruh, pada hati yang kau punya.   Kamu belum tahu, ada jatuh yang entah keberapa kali aku rasakan tiapkali ada disampingmu Namun kini kamu tahu, bahwa sesederhana itu   Aku jatuh padamu  

Jangan Sakit.

Ibu, ayah. Kalau saja kakak bisa kasih Ibu dan Ayah seribu usia, rasaya tidak akan ada beban untuk memberikannya. Kakak akan benar-benar serendah hati itu memberikannya. Kalau saja kakak bisa menghapus lelah Ayah yang sejak dulu selalu membebani pundak Ayah, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak ada satupun lelah yang tertinggal, yah. Kalau saja kakak bisa menghapus kekecewaan Ibu yang seringkali tertanam dalam hati Ibu, Kakak akan benar-benar menghapusnya sampai tak akan pernah ada tangis dan pilu, Bu. Selama ini saya lelah, Bu, Yah. Bekerja, mencari arti diri. Berteman dengan banyak manusia-manusia dengan kepribadian yang berbeda agar kakak tahu harus jadi manusia yang seperti apa. Lelah, Bu, Yah. Tapi saya hanya ingin belajar mengenal dunia lebih baik lagi agar nanti bisa saya ceritakan ke adik-adik, Bu, Yah. Saya sungguh lelah, Bu, Yah. Tapi kakak hanya ingin belajar menjadi kuat seperti Ayah, belajar menjadi pemurah seperti Ibu, terlebih belajar menjadi diri kakak sendiri...