Mahasiswa, seperti dengan sebutannya yakni seorang agen perubahan pastilah memiliki kesempatan untuk menggunakan hak nya dalam menyeburkan diri ke Organisasi Mahasiswa sebagai sarana untuk mengembangkan potensi diri, mengembangkan karakter dan kreatifitas, membantu mahasiswa dalam berpikir inovatif dan kritis terhadap keadaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya serta memberikan ruang khusus bagi mahasiswa untuk berperan aktif dan kontributif dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Kelembagaan Fakultas saya, yang pada tulisan ini mari kita sebut Fakultas A adalah yang sama hal nya seperti Organisasi Mahasiswa pada umumnya, dimana mereka terbentuk atas kepedulian yang tinggi dari para wakil mahasiswanya terhadap pelaksanaan program kerja yang dapat meningkatkan mutu bidang studi maupun Fakultas baik dalam kegiatan akademis maupun non-akademis.
Berpuluh-puluh kali rapat kerja, membentuk kepanitiaan, menciptakan suatu ide dan gagasan kreatif hingga memusyawarahkan keputusan untuk mencapai kata mufakat sebaik-baiknya, Kelembagaan Fakultas A dirasa sudah hampir memberikan sumbangsih dalam mencetak kegiatan-kegiatan inovatif untuk nama baik Fakultas. Tak jarang juga tenaga dan materi sering kali dihabiskan berlebih, disumbangkan tiada henti oleh kelompok panitia tak kenal lelah demi berjalannya program kerja yang sudah diharapkan kesuksesannya.
Kelembagaan Fakultas A, dimata saya-seorang yang sedang mengemban amanah jabatan dalam Organisasi Fakultas-saat ini adalah rumah yang perlu di renovasi kembali. Pondasinya tidak kuat dan hampir merubuhkan tujuan awalnya untuk menaungi insan yang akan menempa diri di dalamnya. Pondasinya tak rapih, masing-masing dindingnya tidak terbentuk kuat-kuat. Tidak ada pilar-pilar kokoh yang mampu memperkuat bangunannya. Namun tak seperti sebuah rumah, Kelembagaan Fakultas A kini berisikan wakil-wakil mahasiswa yang bingung dengan tugas dan tanggung jawabnya. Perannya tumpang tindih tak beraturan.
Persoalan yang kini terjadi pada Kelembagaan Fakultas A adalah tidak adanya kesetaraan dalam dukungan. Komunikasi yang berjalan dari birokrasi hanya sebatas komunikasi kata dan kata, tak sebanyak dukungan moril dan pembekalan wawasan yang diharapkan para wakil-wakilnya.
Mereka harus mematuhi peraturan katanya, dituntut untuk paham dengan fungsi dan peranannya lantas dibiarkan belajar sendiri mencoba memahami sendiri dan dibiarkan salah dalam berpikir. Padahal tak hilang dari jati diri nya, wakil-wakil mahasiswa ini perlu untuk selalu dibimbing dan dibina. Pabila tak ada inisiatif bertanya, saya rasa tak pernah salah untuk ditanya. Perkara bertanya, ‘sudah sejauh mana perkembangan Himpunan dan apa kabar teman-teman Himpunan?’ saya rasa adalah satu bentuk hadiah dan bekal utama yang seharusnya didapatkan oleh pengurus Kelembagaan Fakultas A sebagai bukti bahwa, orang tua mereka memang peduli dengan setiap pergerakan yang mereka lakukan.
Para wakil mahasiswa ini dituntut untuk mau mengabdi kepada Fakultas, dituntut pintar dalam akademisnya untuk bisa menjadi pengurus suatu badan atau lembaga mahasiswa yang bisa memberikan dampak positif kepada citra Fakultas namun tidak diberi bekal mengerucut yang fokus ke dalam substansi pokoknya dalam berorganisasi.
Apakah mungkin di era ini semua orang memang di tuntut harus sudah paham dengan segala macam perkara? Lalu lagi-lagi untuk apa ada kuliah jika pengajaran bukan bagian dalam prosesnya? Apakah lagi-lagi pengajaran hanyalah yang bentuknya terlihat jelas pada bidang akademis semata?
Paradigma yang terjadi dalam proses kaderisasi pengurus Kelembagaan Fakultas A kini terlihat jelas didominasi oleh kurang kontributifnya mahasiswa Fakultas A dalam berlembaga. Tak semua wakil-wakil mahasiswa ini siap dan bersedia untuk mengemban amanah dan ditautkan tanggung jawab keorganisasian. Lagi-lagi kenapa? Mungkin karena mereka tidak tahu manfaat apa yang akan mereka dapatkan selain carut marut permasalahan organisasi yang memusingkan.
Para wakil mahasiswa ini selalu dituntut untuk bisa menjalankan program kerja tepat waktu, memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga dan materi untuk melaksanakan kegiatan yang bisa mengangkat citra Program Studi atau Fakultas. Lagi-lagi selalu diminta untuk patuhi prosedur, datang menghadapi pihak birokrasi ketika semua perkara sudah rampung dan hanya butuh penandatanganan. Meski tak dapat dipungkiri bahwa masih ada pejabat yang paham akan tanggung jawabnya dalam membantu para wakil mahasiswa yang juga tengah membantu mereka.
Lalu jika ditanyakan mengapa saya berpikir bahwa tidak adanya kesetaraan dukungan antara para wakil mahasiswa dengan pihak birokrasi? Terbukti dari kegiatan pesta demokrasi yang sebentar lagi akan kita rasakan. Para wakil mahasiswa dituntut untuk menyiapkan kader penerus yang bisa mencerminkan mahasiswa Fakultas A.
Namun lagi-lagi, persyaratan selalu membatasi ruang gerak mahasiswa dalam menjujung hak nya untuk dipilih. Angka demi angka kini menjadi acuan yang harus dipenuhi untuk bisa menduduki sebuah jabatan pada Kelembagaan Fakultas A. Padahal, penting menurut saya untuk paham bahwa masih banyak aspek yang bisa dipertimbangkan selain angka yang besar pada nilai akademis mahasiswa, yaitu pemahaman keorganisasian, pengalaman, Visi-Misi dan proker yang inovatif serta pemikiran yang luas terbuka dari mahasiswa.
Namun alih-alih memperkuat tujuan dari pesta demokrasi Fakultas A, para wakil mahasiswa lagi-lagi dihadapkan oleh campur tangan dan intervensi pihak birokrasi terhadap ruang gerak mahasiswa dalam memenuhi hak-haknya. Pabila para kader tidak memenuhi syarat nilai akademisnya bisa-bisa saja digugurkan dan pihak birokrasi menggunakan kewenangannya untuk memilih langsung ketua dan wakil ketua yang menurut kacamata mereka adalah yang terbaik.
Haruskah kita ubah nama menjadi Organisasi Kebirokratan?
Lalu, asas demokratis yang kita gaung-gaungkan dan kita junjung tinggi dalam berpendidikan mau dibawa kemana bila pada mahasiswa tidak bisa menggunakan hak pilihnya dalam menjalankan proses perkuliahannya? Nilai penting pesta demokrasi kita menghilang karena oknum-oknum yang dengan sengaja dan terang-terangan menggunakan kewenangan atas jabatan tingginya untuk menihilkan demokrasi di Fakultas A.
Alasan paling umum adalah kandidat yang mereka rasa tidak layak. Karena tidak cukup pintar dalam akademisnya. Sehingga jika tidak ada wakil mahasiswa lain yang mencalonkan diri, kebijakan untuk memilih ketua dan wakil ketua yang mereka rekomendasikan adalah solusinya.
Salah.
Lagi-lagi mari kita tanyakan sebesar apa kontribusi para pihak birokrasi dalam membentuk karakter pemimpin yang paham organisasi dan memiliki karakter pejuang di dalamnya?
Jika kontribusinya hanya sebesar penandatanganan semata, mungkin saya rasa baiknya tidak perlu ikut campur dalam Organisasi Kemahasiswaan. Jika pada akhirnya tidak ada pembekalan yang giat dan rutin diberikan, para pengurus yang mereka pilih dari perhitunagn nilai akademis semata dan tidak paham mengenai keorganisasian saya yakin hanya menjadi wakil-wakil yang tak akan lebih dari budak birokrat yang bahkan tidak tahu siapa yang harus mereka wakilkan.
Komentar
Posting Komentar